Hujan, Datang, Pergi : Datang

Tik. Tik. Tik.

Suara rintik hujan mulai samar-samar terdengar. Sesekali petir juga ikut meramaikan suasana pagi ini di kota Jakarta. Langit pukul 7 pagi tampak dramatis karena awan-awan hitam mulai menyelimuti. Klakson dan bunyi mesin kendaraan turut meramaikan jalanan pagi itu, sebenarnya sudah menjadi bunyi yang tidak asing lagi untuk semua penduduk kota metropolitan ini. Bau asap kendaraan, sampah berserakan bersatu padu dengan air hujan yang perlahan jumlahnya terus bertambah. Hujan yang datang tanpa prediksi seperti ini juga sudah bukan kejutan lagi. Seketika lampu-lampu jalan menyala, seharusnya mereka baru menampilkan cahayanya saat pukul 5 sore. Tanpa selang waktu yang panjang, semua payung warna-warni keluar dari tas tiap orang mewarnai tampilan kota pagi itu, dan suara langkah kaki berlari mulai terdengar.

Amelia berjalan cepat menuju sebuah halte kecil di dekat persimpangan jalan. Tas ranselnya yang berat serta clear file yang ia bawa menghambatnya berlari. Bajunya yang berwarna putih mulai berubah warna menjadi warna kulitnya karena air hujan yang tiada henti menerpanya. Ia sudah memrediksi kalau pagi ini akan hujan, tetapi tetap saja payung lupa dibawanya. Clear file berwarna abu-abu berukuran A3 ia gunakan untuk menutupi kepalanya hingga tiba di halte. Telapak kakinya mulai merasakan dinginnya air hujan yang tertampung pada lubang-lubang jalan, padahal kakinya sudah dilapisi kaos kaki dan running shoes dengan sol tebal. Jeans panjang yang semula berwarna biru muda sudah berubah warna menjadi biru gelap bercampur titik-titik cokelat pada bagian pergelangan kaki.

Setibanya kaki itu di halte, hujan tambah menjadi-jadi. Seluruh bangku halte sudah dikuasai oleh anak-anak berseragam putih biru. Amelia hanya bisa diam tidak berbuat banyak dan menyandarkan tubuh mungilnya ke sebuah tiang yang ada di dekatnya. Dia menggerutu, seharusnya anak-anak berseragam itu mau mengalah dengan orang yang lebih tua. Lidahnya berdecak sesekali mengungkapkan rasa kesalnya dengan anak-anak itu. Tubuhnya bergetar kedinginan dan matanya terus menatap mereka dengan geram. Seperti sudah punya dendam kesumat bertahun-tahun dengan gerombolan ABG putih biru itu.

Sayangnya, tidak hanya air hujan pagi itu yang menerjang kota, angin kencang turut melengkapi. Ranting-ranting pohon berjatuhan akibat hembusannya yang begitu kuat. Amelia masih bersandar pada tiang itu, melindungi clear file berisi proyek-proyeknya dengan tas besar yang ia gendong. Rambutnya sekarang sudah benar-benar basah, begitu pula bajunya, akibat atap halte yang ada di atasnya tidak mampu menyeka air dari sisi kanan dan depannya. Kakinya tak berhenti mengetuk-ngentuk trotoar, matanya pun sedari tadi tidak berhenti mencari-cari mobil yang barang kali milik rekan kantornya. Biasa, untuk nebeng. Hal yang ada di pikirannya saat itu hanya ia ingin tiba di kantor saat ini dan meminum secangkir teh hangat. Tubuhnya semakin menggigil, gigi-giginya kini mulai menghasilkan suara. Dingin sekali perpaduan angin dan hujan pagi ini.

Setiap menitnya pengunjung halte terus bertambah, ruang untuk ia berteduh semakin berkurang. Orang-orang semua nya egois ingin mendapatkan tempat di halte agar tubuh mereka terlindung dari air hujan. Saling berdesak-desakkan, bahkan tidak sedikit yang akhirnya terdorong keluar dari halte dan harus dengan terpaksa merelakan tubuhnya basah. "Dasar egois," gumamnya pelan.
Amelia masih bersandar pada tiang yang sama, berusaha keras mempertahankan posisinya agar tidak direbut oleh manusia egois anti hujan itu. Jalanan di hadapannya mulai terisi dengan mobil-mobil kendaraan pribadi dan suara klakson mulai menghiasi keadaan pagi itu yang sudah cukup ramai oleh suara manusia. Suara hujan, klakson, dan bising yang dihasilkan dari mulut manusia sudah komplit untuk merusak paginya. Tidak bisa kah pagi ini lebih baik?!

Berkali-kali handphonenya berdering, entah dari siapa tetapi kemungkinan besar dari rekan kantor, dan kemungkinan lagi diminta atasannya untuk menghubunginya.

Cicicicit. Cicicicit.

Jam tangan digital yang ia kenakan di pergelangan tangan kiri berbunyi, menandakan sudah pukul 9, sudah telat absen. Amelia yang menghela napas panjang dan pikirannya mulai terbang membayangkan atasannya yang akan berteriak dengan intensitas suara di atas 5000 dB. Hancur sudah pagi hari itu. Hujan, telat, draft proyek kemungkinan basah, halah apa gunanya saya berangkat ke kantor pagi ini jika hanya sial yang menghampiri.

BRUK!

Seorang ibu-ibu dengan tangan penuh belanjaan menabrak tubuhnya yang sedang tidak sigap. Clear file yang ia genggam erat terlepas dari pelukannya dan sepertiga bagiannya masuk ke kubangan air. Ibu-ibu itu tidak berkata satu kata pun, dengan enaknya mengambil tempat bersender itu. Amelia yang masih tersungkur di atas trotoar hanya menghela napas panjang dan meraih clear file-nya.

"Amelia?"

Seketika air hujan berhenti menjatuhkan dirinya di atas kepalanya. Sebuah payung hitam besar menghalangi turunnya air hujan ke atas kepalanya. Amelia sedikit tersentak saat suara itu lagi-lagi menyebut namanya. Jantungnya berdebar kencang seolah ia sedang ikut lari maraton. Tubuhnya membeku masih dengan tangan terulur ke arah clear filenya yang tergeletak di atas jalan. Detik itu juga, ia merasa otaknya berhenti bekerja. Tidak ada gerakan sedikitpun yang ia lakukan. 

"Amel.."

Kini suara itu tepat berada di belakang telinganya dan semakin jelas. Semakin jelas suara siapa itu, semakin jelas pula memori buruk akan suara itu kembali. Rintik air hujan ditambah suara itu mengantarnya kembali kepada kenangan saat hujan 5 tahun lalu. Saat ia mulai membenci suara itu, saat suara itu sudah tidak membawa lagi senyum, namun hanya rasa kecewa. Suara yang 5 tahun lalu terakhir terdengar saat tubuh ini tengah didekap pemiliknya.

"Amelia, kamu dengar aku, kan?"

Amelia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tubuhnya yang mulai gemetar. Hanya ada satu kalimat singkat yang muncul dalam pikirannya saat ini. Bukan mengenai pemilik suara, namun mengenai waktu. 

Kenapa baru sekarang...

"Amelia, aku tahu kamu masih ingat aku. Tolonglah berbalik, lihat aku."

Pandangannya mulai kabur tertutup air mata, ia berusaha tak mengedipkan mata agar tidak ada setetespun yang berhasil membasahi pipnya. Amelia menarik napas dalam-dalam, tubuhnya kini sudah gemetar hebat, selain karena dingin, kehadiran suara tersebut menambah getarannya. Semua pertanyaan yang ia ingin tanyakan dulu mulai nampak kembali dalam pikirannya. Ingatan yang seharusnya sudah benar-benar ia lupakan.

Kenapa kamu baru datang sekarang?
Kenapa setelah 5 tahun?
Ada apa kamu kembali?
Kenapa saat hujan?
Harus aku senang?
Kenapa?

"Amelia, maaf."

"Amelia, tolonglah berbalik dan lihat aku."



-TO BE CONTINUED-

Comments

Popular posts from this blog

Pause! A 2-year reconciliation with one’s self

Welcoming the Pre-Quarter Phase

An Extra