Hujan, Datang, Pergi: Pergi

"Amelia, tolonglah berbalik dan lihat aku."

Itu suara Radit.
Setelah 5 tahun berusaha keras membuang semua memori pahit, sekarang ia kembali. Kepalanya masih enggan untuk menoleh, matanya masih belum sanggup untuk melihat wajah itu lagi. Dengan gerak cepat ia mengambil clear filenya yang sedari tadi masih tergeletak di atas kubangan air. Draft proyek yang basah bukan fokus utamanya saat ini, ia hanya ingin orang yang sekarang memayunginya dan jongkok di belakangnya untuk pergi.
Hanya itu. 
Amelia ingin Radit pergi.

"Segitu bencinya kamu sama aku? Aku harus apa agar kamu mau lihat aku? Tolong jawab." Kini dengan cukup berani Radit menyentuh pundak kecil itu dan menggenggamnya erat. Air mata yang sedari tadinya ia tahan pada akhirnya membajiri pipinya juga. Ia mengusapnya pelan dengan telapak tangannya yang kotor dengan pasir-pasir trotoar. Amelia menarik napas dalam-dalam dan dengan berat menolehkan kepalanya, dan akhirnya mata itu ia lihat lagi.

Semuanya masih sama. Amelia masih mengingat dengan jelas semua tentang Radit. Entah bagaimana, tetapi sesakit apapun itu yang ia rasakan, sosok itu tidak pernah ia berhasil lupakan. Tatapan matanya masih hangat dan bersahabat seperti dulu. Aroma parfum yang ia gunakan juga masih sama, bahkan kemeja biru yang sekarang ia kenakan, adalah kemeja yang dulu ia sangat sering pakai. Kalau saat itu Amelia boleh jujur, ia rindu. Ia rindu, tetapi sakit. Dengan kembalinya sosok ini sebenarnya ia senang, namun juga hancur.

Radit tersenyum begitu melihat wajah Amelia. Seolah sudah puluhan tahun mereka tidak bertemu, tatapannya tidak dapat dipungkiri kalau sebenarnya ia masih mengharapkan wanita yang ada di depannya. Cara ia melihatnya menunjukkan penyesalan tak berujung dari apa yang ia lakukan beberapa tahun silam. Tangan besarnya perlahan meraih wajah itu dan membersihkan pasir-pasir yang ada di pipinya. Dengan sigap Amelia memegang pipinya dan beranjak berdiri.

"Kamu masih sama." Radit ikut berdiri, pandangannya tidak lepas dari Amelia.
"Ahahaha, tetapi sebenarnya banyak yang telah berubah dari ku. Sangat tidak mungkin aku tetap orang yang sama seperti lima tahun lalu." Amelia menatap lurus ke jalanan yang masih saja penuh dengan kendaraan. Ia mencoba sebisa mungkin untuk tidak melihat mata itu lagi. Tidakkah cukup perpisahan lima tahun lalu? Terlalu sakit untuk mengulang hal itu lagi. Terlalu.... tragis jika terulang lagi.

"Masih suka hujan? Apa sekarang lebih suka kemarau?" Radit membuka pembicaraan lagi. Mulutnya seolah enggan berhenti dan terus menerus mencari topik yang cocok untuk diperbincangkan dengan wanita di sampingnya.
"Hujan tidak lagi sama. Kemarau masih terasa kering dan sedih, tetapi kini hujan lebih menyakitkan. Entah sejak kapan, tapi itulah yang aku rasakan." Amelia tersenyum kecil. Radit meliriknya dan bibir itu tersenyum dengan lebar. Sangat jelas, ia ingin Amelia kembali.

"Kamu masih sama." Ujar Radit lagi.
Amelia hanya mengangguk.
Mereka berdua terdiam, suara hujan yang perlahan mulai menghilang menambah suasana sepi di antara mereka. Sepi, seperti lima tahun terakhir yang mereka rasakan.
Radit yang benci sepi, dan Amelia yang benci keramaian. 
Bisa ditebak bukan siapa yang akan bicara selanjutnya?

"Amel, maaf. Apa masih bisa saya dapat maaf mu?" 
Amel dengan segera memutar tubuhnya dan menatap lurus-lurus mata itu lagi. Kali ini tanpa ragu dan air mata. Sekarang ia sudah berani, menurutnya, buat apa takut? Seharusnya setelah pelajaran lama itu, ia sudah tahu cara mengatasinya.

"Aku terlalu bodoh dulu. Aku menyesal. Selama lima tahun aku berusaha untuk melupakan air mata yang aku pernah buat di mata mu. Selama 5 tahun aku berpura-pura sibuk, tetapi sebenarnya aku tidak melakukan apa-apa." Radit melanjutkan pembicaraannya.
"Lantas apa? Kamu ingin bilang apa sama aku?" Amelia hanya tersenyum. Tidak ada lagi tanggapan yang menurutnya lebih baik untuk saat itu.

"Aku tidak tahu menahu tentang keadaan mu selama 5 tahun. Terlalu sibuk mencoba melupakan, namun sebenarnya aku terus mencari kamu. Kamu menghilang dengan cepat setelah kejadian itu. Amel, tidak ada kesempatan lagi? Aku minta maaf."
"Radit. Seharusnya Amel yang minta maaf. Maaf karena dulu gagal membuat kamu bertahan untuk aku, aku juga minta maaf karena gagal memertahankanmu. Aku tetap suka hujan walau sakit, begitu pula perasaan ini untuk kamu."

"Masih ada?"

Amelia tersenyum dengan lebar.
"Sama seperti hujan. Aku memang masih suka, tetapi bukan berarti aku terus menerus mengharapkannya datang, bukan?"
"Lalu?"
"Hahaha. Aku memang masih suka kamu, masih sangat suka, tetapi tidak berarti aku ingin kamu ada di samping aku terus. Kejadian dulu sudah membuat aku belajar, kalau kamu memang hadir sebagai pelajaran, tetapi bukan sebagai bagian hidup aku. Kamu tidak pernah salah, dan jangan pernah merasa bersalah."

Radit sontak melepas payung hitam besarnya itu dan memeluk Amelia erat-erat. Sudah sejak lama ia ingin melakukan itu, namun Amelia jauh, sulit untuk digapai.

"Amelia, aku minta maaf."
"Kamu tidak salah. Tidak ada yang salah. Apakah ilmu sains pernah minta maaf karena hadir dalam hidup mu? Tidak kan. Kamu juga, tidak perlu minta maaf. Aku senang kamu datang, dulu, karena ada pelajaran yang aku dapatkan. Aku juga senang kamu hadir lagi hari ini, cerita kita jadi punya akhir. Kamu tahu kan aku tidak suka open end?"

Amelia melepaskan pelukkan itu dan berjalan mundur, perlahan menjauhi sosok yang pernah menghiasi hari nya dulu. Dahulu membawa senyum, sekarang membawa tangis.
"Radit, jikalau memang kita harus bertemu lagi, aku tidak menolak. Tetapi untuk kembali, aku menolak. Aku senang karena aku akhirnya tahu bagaimana akhir dari semua tanda tanya selama lima tahun. Hahaha, anggap saja sekarang akhirnya aku lulus dari sebuah pelajaran berharga. Menurut mu, apa ending yang baik untuk saat ini?"

Radit hanya menggeleng, matanya mulai berkaca-berkaca. Amelia mengangguk seolah paham apa yang ia harus lakukan untuk menyelesaikan cerita lima tahun mereka. Kakinya melangkah mundur semakin menjauhi Radit.
"Radit, aku pergi." Amelia tersenyum dan melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan.
"Amelia.."
"Senang melihatmu."

Tanpa berpikir panjang, saat sebuah metromini melintas di hadapannya Amelia langsung saja menaikinya. Dari balik jendela bus, terlihat Radit masih berdiri di tempat yang sama. Tidak ada yang berubah darinya, ia masih sama. Radit masih sanggup membuat jantungnya berdegup kencang. Namun yang berubah, ia sudah tidak lagi hadir dengan membawa aura bahagia, ia membawa memori pahit. Aura pahit.
Radit dengan sejuta kenangan manis sudah tidak ada. Sekarang ia pahit. Walau secara fisik masih terlihat manis, tetapi rasanya pahit.

Sampai jumpa, Radit. Aku pergi. 

Comments

Popular posts from this blog

Trust and Respect

the first quarter

Pause! A 2-year reconciliation with one’s self