Senyum Lila Kala Senja

   Kalila, perempuan bertubuh mungil dengan rambut yang selalu acak-acakan tiap kali hadir ke sekolah. Perempuan dengan sepatu berukuran 35 yang senyumnya memang tidak semanis senyum aktris papan atas Mikha Tambayong atau Rachel Amanda. Membisu adalah bakatnya, aku ragu jika sebenarnya ia tidak bisu.

   Dua belas tahun berlalu begitu saja, dan waktu-waktu aku berbincang dengan Kalila mungkin masih dapat terhitung dengan jemari tangan. Kerap kali ia dihampiri laki-laki berisik di kelas, ribuan cemoohan dilontarkan kepadanya. Tidak terdengar sedikitpun suara keluar dari mulutnya, balasannya hanya senyum, lalu melanjutkan apapun yang tadinya sedang ia kerjakan tanpa memedulikan apa yang baru saja dikatakan teman-temannya itu.

   Tidak hanya lawan jenisnya yang bicara bak hewan buas itu, teman perempuannya tak kalah buasnya, bahkan lebih buas lagi karena tak sampai langsung ke telinga Kalila. Bicara di belakang adalah hobi teman perempuannya, main aman katanya. Takut orangnya sakit hati, katanya.

   Ini tahun ke-12 ku duduk dalam satu kelas dengan perempuan yang bicara enggan, bisu pun tidak. Sering kali aku mendapatinya memandang lurus ke jendela, ribuan niat untuk mengajaknya bicara tertanam baik dalam hati, namun tak kunjung tumbuh ke atas permukaan.

   Lelaki payah, pengecut, hanya ajak bicara saja tak berani. Jika tak ada apa-apa seharusnya takut tidak perlu.

   Setiap kali kaki ini akhirnya melangkah melewati mejanya, bagai angin lewat saja ia melangkah. Seperti mobil yang rem nya tak berfungsi, aku pun heran terkadang.

   Aku yakin, ribuan kali sudah ia berusaha tampil baik di hadapan teman-temannya, dengan lihai bersenam lantai, pandai memasukkan bola ke gawang, dan predikat juara kelas ia dapatkan berkali-kali. Tak satupun dari bakatnya itu berhasil memukau para temannya yang bermulut buas itu.

   Kalau kalian tanya aku apakah terpukau atau tidak, malu terkadang yang aku dapatkan. Perempuan yang sering kali di mata lawan jenisnya lemah, tak pandai olahraga, dan hanya cocok masak di rumah ternyata bisa jauh melampaui kemampuan ku, seorang laki-laki. Satu pikiran ku setiap malu itu muncul, laki-laki dan perempuan itu sebenarnya bisa memiliki keahlian yang sama, yang beda hanya usahanya. 

   Senja ini, senja terakhir yang aku habiskan dengan seragam putih abu-abu akan menjadi senja terakhir kesempatanku untuk ajak perempuan paling diam yang pernah aku temukan bicara. Nyali ku sungguh jauh sangat buruk dibanding kesabaran Kalila menghadapi teman-temannya.

   Dari kejauhan mataku berhasil menangkap tubuh mungilnya tengah membaca buku di pinggir lapangan sepak bola seperti biasanya. Hanya, senja itu sangat rapih rambutnya bahkan, untuk pertama kalinya pipinya dapat terlihat dari samping. Sinar matahari senja menyorot hanya ke dirinya seorang, belasan orang yang tengah bermain bola tidak digubris keberadaannya oleh mentari senja itu. Aku tak pernah sadar, ternyata teman yang tidak pernah ku ajak bicara selama dua belas tahun lamanya memiliki lesung pipi dan rambut yang sebenarnya indah.

   Aku mengintip dari balik pohon di ujung lapangan, tas yang berisi seluruh buku yang tadinya ku tinggalkan dalam loker kelas ku gendong dengan kuat. Satu detik berselang, mungkin ia sadar ku perhatikan, akhirnya mata itu mendapati mata ku yang tengah melihatnya. Senyumnya terulas dengan cantik di bibirnya. Aku menyapa balik senyuman itu. Baru tahu aku ternyata dia tak menyeramkan. Perempuan pintar dengan kemampuan olahraga melampaui laki-laki ternyata tidak menyeramkan. 
Belum sempat aku balas senyum itu dengan lambaian tangan, matanya sudah berpaling dari ku dan ia bergegas pergi.

   “Sampai jumpa!” Teriakku dari jauh walau ku yakin pasti tak akan sampai di telinganya.

   Senja itu, aku melihat senyumnya dengan jelas walau dari jauh. Aku memandanginya hingga tubuh mungilnya menghilang dari pandangan.

   Senyum kalila senja itu, tak pernah kuduga adalah senyum terakhirnya.

Comments

Popular posts from this blog

Trust and Respect

the first quarter

Pause! A 2-year reconciliation with one’s self