Bisikan Rania pada Angin Malam

           Malam ini ia menyepi lagi bersama cahaya bulan, secangkir kopi panas, dan tak lupa, temannya yang paling setia, angin malam. Kantuk sudah menggantung pada matanya, meminta gadis yang baru saja menginjak umur seperempat abad untuk beristirahat setelah hari yang panjang. Kedua kakinya ia peluk erat-erat agar angin malam tak mampu mengganggu kemesraan dirinya dengan kopi panas. Aromanya sungguh kuat, dan tiap detik yang ia lalui dengan aroma kopi, itu merupakan suatu anugerah dari Tuhan, katanya.

               Dilihatnya lekat-lekat ribuan bintang di langit yang masih dapat terlihat dengan jelas dari pelataran rumahnya di tengah desa. Ia ingat sekali saat masih kecil dahulu, pasti neneknya akan bercerita tentang masa pra kemerdekaan dengan antusias. Kemudian, kakeknya akan ikut bergabung berbagi cerita, dan cerita akan terus berlanjut sampai larut tengah malam, lalu digendonglah anak perempuan yang bertubuh kecil itu ke dalam kamarnya. Bukan main ia rindu akan semua itu.

               Sang nenek pada suatu siang saat ia baru saja menerima ijazah SMA, meninggalkannya pergi begitu saja bersama sang kakek. Tidak dapat ia deskripsikan keadaannya saat itu, neneknya yang sudah ia anggap seperti ibu kandungnya sendiri harus pergi untuk selama-lamanya. Kakinya langsung kehilangan tenaga untuk menopang beban tubuhnya, ijazah yang berisikan nilai hasil ujian SMA yang cukup apik sudah tidak berguna lagi. Kehidupannya perlahan berubah setelah nenek satu-satunya itu meninggal. Sang kakek tidak suka berbagi cerita lagi, dan gadis yang masih dibawah umur 20 tahun itu terpaksa harus bolak-balik dari kota ke desa tempat tinggalnya demi mengurus sang kakek sembari kuliah kedokteran.

               Satu setengah tahun setelah itu, kakeknya yang sangat mencintai almarhum neneknya itu, menyusul kepergian istri satu-satunya. Sebatang kara sudah ia di dunia ini, saudara sepupunya semua sudah pergi berpencar ke seluruh pelosok Indonesia yang ia sendiri tidak tahu ada di mana saja. Pakdhe, budhe, semuanya sudah meninggal bersamaan dengan kedua orang tuanya saat kecelakaan 10 tahun lalu.

Diminumnya perlahan kopi yang sudah mulai pudar aroma khasnya itu.
Ingat sekali ia, saat baru saja masuk SMA, neneknya bertanya, “Rania, kamu mau lanjut ke mana setelah SMA ini?”

Ia hanya menggeleng sebagai jawaban tidak tahunya. Luka-luka pasca ditinggal kedua orang tuanya masih belum sembuh setelah bertahun-tahun, amat sangat dirindukannya kedua orang tua yang setiap malam selalu tidur di sampingnya. Air mata tidak terbendung lagi saat itu, dipeluknya erat tubuh neneknya yang kurus dan berbalut kulit yang sudah mulai keriput.

“Rania, pilihan apapun itu yang kamu jalani nantinya, nenek dan kakek akan selalu dukung kamu.”

Dibulatkan tekadnya untuk menjadi penulis setelah dua bulan menjalani kehidupan di SMA. Tidak dapat dipungkiri memang, sejak kecil hobinya membaca, dan seringkali memenangkan lomba puisi walau hanya tingkat RT. Hingga suatu malam mimpinya menjadi penulis tertiup angin begitu saja. Neneknya sakit, dan dokter di sekitar desanya sangat amat jarang, perlu waktu dua jam lebih untuk mencapai puskesmas terdekat. Malam itu, ia menghabiskan dirinya berpikir keras di dalam kamarnya. Semua puisi-puisi dari pujangga kesukaannya yang tertempel dengan rapih di dinding kamarnya seolah kehilangan makna. Ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri apakah menjadi penulis akan menolong kakek dan neneknya.

“Nek, Rania mau jadi dokter saja.”
“Katanya mau jadi penulis?”
“Kalau aku jadi penulis, tidak berguna aku untuk kalian.”
“Rania, kalau kamu bekerja tidak menggunakan hati, percuma.”
“Keputusanku sudah bulat, nek.”

Dengan penuh semangat gadis itu berkata demikian saat sarapan pagi. Nenek dan kakeknya hanya tersenyum tidak komentar apapun. Cucunya memang selalu sulit diganggu jika sudah memilih.

Tepat setelah kakeknya meninggal, ambisi ingin jadi dokternyapun hilang. Ia merasa tugasnya sudah selesai untuk menjadi dokter saat itu, padahal baru saja naik tingkat 2. Percuma katanya jika tujuannya menjadi dokter sudah pergi. Kehidupannya semakin sepi, jasadnya masih terisi, namun jiwanya kosong. Ia mengundurkan diri dari bangku perkuliahan yang susah-susah ia dapatkan. Ia kembali ke rumah almarhum kakek dan neneknya, menghabiskan waktu menulis puisi dan melamun di pelataran. Wajahnya selalu murung, tetangga sekitarnya tidak dapat berbuat banyak juga selain hanya membiarkannya bertindak sesuai kemauannya. Sudah dianggap tak waras mungkin ia.

Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Secangkir kopi yang ia seduh tadi baru seperempat ia minum. Aromanya sudah tergantikan oleh aroma embun pada dedaunan. Angin malam semakin erat saja memeluk tubuhnya. Kali ini air mata ikut menemani menggantikan tugas aroma kopi. Bayang-bayang akan nenek dan kakeknya yang tengah bercerita kembali menemaninya malam itu. Diambilnya foto kecil dari saku celananya. Foto tua yang sudah mulai menguning itu menggambarkan senyum ceria kakek dan neneknya sambil menggendong seorang anak yang masih berumur 12 tahun, tak lain adalah dirinya sendiri.

Kepada angin malam yang setia memelukku sepanjang malam, tolong sampaikan rinduku untuk keluargaku pada Sang Pencipta, agar diri-Nya tahu hamba-Nya ini sungguh kesepian. Ia rindu neneknya, kakeknya, dan sanak keluarga yang terpencar entah sekarang ada di belahan dunia bagian mana. Sampaikan juga, kurasa tugas ku sebagai dokter sudah selesai sejak lima tahun lalu, kurasa tugas ku sudah selesai pula sebagai manusia. Mengapa aku masih dipekerjakan jika tugas ku sudah selesai?

Kepada angin malam, ku bisikkan pesan singkat ini karena aku percaya kamu akan sampaikan pesan ini pada-Nya.

Kepada angin malam, terimakasih sudah menjadi teman ku, terimakasih atas pelukan dingin mu tiap matahari mulai menghilang. Aku tidur dulu ya, jangan lupa sampaikan pesanku. Barangkali ini pesan terakhir ku.


               

Comments

Popular posts from this blog

Pause! A 2-year reconciliation with one’s self

Welcoming the Pre-Quarter Phase

An Extra