Croissant

"Kenapa croissant? Kenapa tidak donat? Rasanya banyak yang lebih tertarik donat," Aku yang sudah tidak kuat dengan keheningan ini, pada akhirnya angkat bicara setelah ia memilih sebuah foto croissant yang tersebar di antara puluhan foto makanan lainnya.
"Kenapa Eza? Kenapa tidak lengkap saja, Reza?"
Sembari merapihkan foto-foto yang tersebar di atas meja kaca ia membalikkan pertanyaanku.
Aku menatapnya, mengernyitkan dahi. Bukankah memanggil seseorang dengan nama yang tidak biasa digunakan oleh orang lain itu bebas? Tidak ada Undang-Undangnya kan?
"Kamu juga ngga pernah panggil aku git, tapi ta." 

Pria dengan kacamata yang saat ini tengah duduk dihadapanku hanya tertawa kecil dan memasukkan sebuah amplop cokelat, berisikan foto-foto makanan yang sedari tadi kita seleksi ke dalam tas pinggang hitamnya. Jendela besar yang tepat berada di sebelah kirinya mengizinkan cahaya matahari siang menyinari seluruh tubuhnya yang tidak begitu gemuk. Sebab cahaya matahari, aku tidak dapat melihat matanya yang lebih sering berbicara dibanding mulutnya itu. Selang beberapa saat aku dapat menangkap gerakan pada pipinya yang mulai ke atas, dan terulas senyum pada bibirnya yang tadi sempat hanya membentuk garis lurus.

"Aku suka croissant, ta. Croissant itu sekalipun hambar, tetapi selalu memberi aku cerita. Dibandingkan donat, hanya memberi aku rasa tetapi tidak ada cerita." 

Ia merendahkan kepalanya seolah tahu jika aku kesulitan untuk melihat matanya. 
"Aku hanya mau berbeda, ta. Nggak ada masalahkan?"
"Ya..." 
"Sekarang kamu harus jawab, kenapa Eza?"

Skak. 
Tidak seharusnya aku malah balik bertanya tadi. Mengalihkan topik seharusnya menjadi apa yang aku pilih.

"Za," 
"Kenapa ta?"
"Eza,"
"Ada apa, Gita?"
"Ini buat kamu aja," Aku mendorong cangkir putih berisikan cokelat panas yang ada di hadapanku ke arahnya. 
"Kan tadi ini kamu buat sendiri buat kamu, kenapa kasih ke aku?"
"Biar kamu tahu cokelat panas buatan aku, ini buat kamu aja, aku bisa buat lagi,"
"Terimakasih ya, ta. Tapi kamu masih belum jawab. Ini sogokan?"
Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya dan membiarkannya menikmati cokelat panas buatanku. 

1 menit
2 menit
Wajahnya bak seorang barista handal menebak-nebak apa yang aku masukkan ke dalam cangkir itu. Lagi-lagi karena sinar matahari yang menyilaukan kacamatanya, aku tidak dapat membaca pendapatnya tentang cokelat panas itu.

"Ini enak banget, ta! Wah, gimana buatnya? Ajarin bisa? Ini favoritku banget, ta!" Diletakannya kembali cangkir itu ke atas piring kecilnya, dan sesegera mungkin ia mengeluarkan kamera analog andalannya dan mengambil foto minuman itu dari berbagai sisi. Tak tanggung, layaknya pengguna sosmed ternama itu pada umumnya, ia menaiki kursi untuk mendapatkan hasil terbaik.
"Okay, I'll take that as my answer, too." 
"Apa?"
"Nope, aku permisi, ya."

Aku berdiri hendak membuat cokelat panas untuk diriku dan meninggalkannya sibuk mengabadikan secangkir cokelat panas, yang setidaknya hingga saat itu, adalah yang terbaik untuknya.

Comments

  1. bagus2, tp kl boleh saran, jgn gita namanyaa. org jd berimanjnasi gitasav nnt wkwk me pgn org berimajinasi dgn sebebas2nya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pause! A 2-year reconciliation with one’s self

Trust and Respect

Welcoming the Pre-Quarter Phase