Crêpe

"Sudah jadi, ta?"
"Tunggu saja dua bulan lagi, kamu pasti akan geleng-geleng kepala."

7 Februari 2009,
Kali terakhir aku menghidangkannya cokelat panas dan croissant.
Setelah itu?
Kurasa kalian bisa tebak.
Tidak saling sapa, baik langsung maupun tidak. Dianggapnya, mungkin, kita sudah selesai. Dari awal kita mulai bicara memang bukan karena ketertarikan, melainkan kewajiban. Salah memang kurasa jika aku memberi harapan pada diri sendiri jikalau ia akan terus menyapaku melalui pesan singkat tiap pagi. Sungguh aku terlalu senang menerbangkan diri sendiri.

----


24 bulan berlalu setelah hidangan cokelat panas dan croissant terakhirku untuk Eza. Aku sudah lulus kuliah 12 bulan yang lalu, kurasa ia juga, jika tidak terlalu sering membawa dirinya tenggelam dalam suasana melankolis. Masih tetap sama, kami tidak saling kabar. Kata teman-teman saat magang dulu, pria yang seumuran denganku dan hanya beda 2 jam lahirnya, lima bulan atau lebih setelah kami menyelesaikan tugas saat itu ia membuka studio foto sendiri. Di dekat rumahnya, hanya dengan modal garasi mobilnya yang sudah tidak terpakai sejak mobil ayahnya dijual. 

Aku?
Tepat 2 hari setelah aku lempar toga bersama kawan-kawan kampus, aku memutuskan membuka kafe. Belum dapat kukatakan kafe sebenarnya, karena pada dasarnya aku hanya menyewa ruang kosong berukuran kurang dari 10 meter persegi yang letaknya di dekat sebuah pasar. Tentu sangat mudah ditebak bukan apa yang aku jual. Cokelat panas dan berbagai macam pastry, tentu tidak lupa, aku menjual croissant. 

Seperti hari-hari setelah aku mendapat gelar sarjanaku, pagi hari aku habiskan menjaga kedai sebelum pergi ke kantor tepat pukul 8. Tidak begitu banyak pelanggan saat pagi, paling-paling hanya bapak-bapak yang sekadar mampir beli roti dibungkus untuk dimakan kala menikmati macetnya jalanan menuju kantornya. Terkadang ada juga anak kuliahan dengan banyak genggaman buku di tangannya membeli kopi. Cukup langka adalah anak SMP, pernah sesekali dua orang remaja dengan seragam putih biru mampi ke kafe, beli kopi dan beberapa macam pastry, lalu berbincang hingga matahari tepat berada di puncak tertingginya.


Paling langka adalah saat penggemar pertama cokelat panasku hadir saat aku baru saja menyalakan lampu etalase. Tepat seminggu yang lalu, dia berjalan menghampiri kafeku. Kali ini ia berbeda dari ia saat magang dulu yang nggak pernah mau menyemprotkan parfum ke bajunya, parfum bvlgari yang umum dijumpai di tempat belanja kenamaan dapat tercium begitu ia membuka pintu kafe. Masih dengan kamera analog yang sejak magang ia bawa ke mana-mana, jaket cokelat andalannya, dan kacamata hitam yang aku tidak tahu sudah berapa lama membantunya melihat, orang yang sudah lama tidak pernah menyapaku mengucapkan selamat pagi sembari mendorong pintu kaca berkusen kayu itu.


"Selamat pagi,"

"Selamat pagi, pak." balasku, masih belum berpaling sejak aku menangkap keberadaannya di depan kafe ku kurang lebih 3 menit yang lalu.

"Eh?" Ia menatapku lekat-lekat, berjalan terus mendekat ke arah etalase berisikan pastry.

"Mau pesan apa, pak?"
"Ta, kamu lupa sama aku?"
"Ada baguette, macarons, eclair, atau kalau mau roti tawa biasa juga tersedia, pak."
"Ta?"
"Saya juga jual makanan yang bapak pasti suka, croissant."
Kemudian dia tersenyum, manis sekali. Aku balik membalasnya, aku tahu dia sangat mengerti maksud dari jawabanku kali ini.

"Jadi? Kafe Pastry? Lambang di depan sepertinya aku kenal. Kamu beli?"

"Tidak, dikasih. Katanya bayaran."
"Bayaranku mana?" Tanyanya dengan nada kecewa.
"Croissant sama cokelat panas seperti biasa, gimana?"
"Deal."

Topik pembicaraan kami masih tidak jauh dari topik pastry, fotografi, desain grafis, dan tidak pernah lupa sejak hari itu, cokelat panas. Entah sudah berapa kali dia memberikan pujian akan cokelat panas buatanku yang baru ia minum lagi setelah entah berapa lama, aku sendiri lupa.


"Aku sekarang kerja di perusahaan kecil yang suka urus buku tahunan anak sekolah, ya seru sih. Sering ketemu anak muda, hahaha. Kamu sendiri gimana, za?"

"Ini. Kamu kalau butuh bantuan promosi, boleh banget ke studio aku. Semua makanan di kafe kamu akan aku foto semenarik mungkin, ya harga teman boleh deh."
Aku hanya membalasnya dengan tertawa. Pembicaraan kami terus berlanjut, seperti yang dulu-dulu, didominasi tertawa, kemudian hening, kemudian tertawa lagi. Kami jarang bahas topik serius, terlalu pusing katanya. Lagipula bukankah berkomunikasi dengan orang lain seharusnya membuat kita bahagia, ungkapnya dulu. Setelah kurang lebih 1 jam kami bicara tanpa pembahasan yang pasti, dia berdiri merapihkan foto-foto di atas meja yang tadi dia pamerkan kepadaku.

"Ta, aku permisi dulu ya."

"Sibuk ya, sekarang?"
"Ah, bukan. Kalau untuk cokelatmu aku akan selalu sempatkan waktu, tenang. Aku mampir lagi lain waktu, bolehkan?"
"As you please,"
"Masih gratiskan, tapi?"
"Maaf, itu hanya berlaku untuk hari ini. Kamu tahu? Kalau sampai ada pelanggan lain yang tahu aku kasih kamu gratis dua makanan andalan kafe ini, bisa diprotes. Tanggung jawab mau?"
"Hahahahaha. Sifat humorismu masih sama ya,"
"Setelah ini kamu ke mana, za?"

Ternyata kemampuanku membaca bahasa matanya belum hilang sepenuhnya. Setelah aku lontarkan pertanyaan itu, senang bukan main rupanya dia.


"Ini rahasia cuman antara Gita dan Eza ya, janji?"


Untuk pertama kalinya dia mau berbagi sesuatu yang hanya dirinya yang tahu kepadaku. Dulu, saat magang, dia tidak pernah mau cerita apapun padaku. Bahkan sampai saat atasan mendapatinya ternyata sudah memiliki pasangan ia tidak pernah cerita sedikitpun padaku tentang pasangannya. Kata kawan magang dulu, kami berdua seperti sahabat dari kecil, selalu mampu berbicara berjam-jam tanpa henti, seolah ada ribuan topik dalam kepala kita berdua yang siap buat diobrolkan kapan saja. Sayangnya mereka tidak tahu, jika omongan kita hanya seputar lelucon murahan yang sering ia temukan di sosial media. Sisanya? Kami memilih bicara dalam pikiran masing-masing. Tidak pernah sekalipun dia mau berbagi tentang kehidupannya, terlebih seperti saat ini. Rahasia, katanya tadi.


"Apa? Ini pertama kalinya aku dengar kamu mau berbagi rahasia," jawabku dengan penasaran.

"Aku rasa aku sudah menemukan pastry favoritku, ta."
"Bukankah croissant favoritmu?"
"Favorit beda sama suka, ta. Aku selalu memaknai favorit di atas suka derajatnya. Aneh ya?"
"Biasanya orang memaknai suka, lebih dari favorit, za. Nggak kebalik?"
"Untuk aku tidak. Ini pastry favoritku. Nomor satu. Bahkan croissant kalah. Makanya dulu aku bilang cokelatmu itu favoritku kan? Karena aku sudah terlanjur lebih dari suka, ta."

Mudah sekali ditebak tentunya perasaanku saat itu.


"Kamu muter-muter. Jadi, apa?"

"Crêpe." Jawabnya singkat.
Tanpa penjelasan lebih lanjut dia mengangkat telpon genggamnya yang berdering, kemudian menepuk pelan pundakku dan memberikanku lambaian tangan sembari berlari.

Kurasa tepukkan pelan di pundakku tadi juga merupakan penjelasan dari jawaban singkatnya tadi.

Ingatkan kenapa dia memilih croissant?
Kurasa kali ini croissant tidak lagi bercerita banyak untuknya.
Kurasa akhirnya dia sudah menemukan cerita baru dengan pastry favoritnya yang baru itu.

Sayangnya, cokelat panasku bukan lagi pemenangnya saat ini.

Comments

  1. yah sediiih, dia lebih milih crepe
    tapi cokelatnya tetap jadi favoritnya kan? duh jd pgn cobain kl baca cerita ttg makanan2 gini

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pause! A 2-year reconciliation with one’s self

Trust and Respect

Welcoming the Pre-Quarter Phase