Cokelat Panas

"Kamu baik, ta?"
Masih dengan jaket cokelat yang sama seperti 4 tahun lalu, ia menghampiriku tepat di tempat itu. 4 tahun untukku layaknya malam kemarin, masih terlukis jelas dalam pikiranku pertemuan pertama kami. Walaupun untuknya mungkin sudah 4 abad lamanya, tidak ada goresan tentang pertemuan itu. 
Tas ransel hitam menggantung di pundak kirinya, dengan segelas cokelat panas ia genggam dengan tangan sebelah kanannya. Apakah dia masih ingat semua cerita tentang cokelat panas?

"Sangat baik, lebih baik dari yang kamu lihat,"
Aku mengembalikan senyumannya yang ia sudah berikan padaku sejak mata kami bertemu 5 menit yang lalu. Jika saja waktu dapat dipermainkan seperti musik, bolehkah Tuhan aku putar lagi 5 menit itu? Atau bolehkah aku putar hingga 4 tahun lalu?

"Cokelat panasmu aromanya selalu enak, ingat saat aku selalu bertanya-tanya bagaimana cara membuatnya? Ah, hingga saat inipun aku belum sanggup ta menyaingimu," 
Ia menyicipi cokelat panas yang ia genggam sedari tadi. Pujian untukku tak berhenti di situ, lanjut saja ia mengeluarkan seluruh ungkapan pujian akan betapa nikmatnya cokelat yang kubuat. 

"Selalu kamu, berlebihan." Tidak semua ungkapannya aku dapat percaya, hiperbola kalau istilah majasnya. 

"Aku serius, Ta. Aku nggak pernah bohong kalau muji cokelat kamu, kamu memang sudah ahli dalam bidang ini. Aku selalu jujur, ta."
Aku termenung sembari mengambilkan croissant dari microwave, pesanan kesukaannya yang kedua. 

"Iya, iya. Terimakasih ya pujiannya."
Ia memang tidak pernah berbohong, setiap kata yang ia keluarkan memang mungkin benar.
Cokelat panasku enak, aromanya harum, manisnya pas. Ia tidak bohong, mungkin memang itu kenyataannya. 

"Ta, aku duluan ya. Terimakasih lagi untuk cokelat dan croissantnya pagi ini, pasti Alya suka nih,"
"Sama-sama, salam ya untuk Alya dan anakmu,"
Ia tidak pernah bohong, ia selalu jujur akan perkataannya tentang cokelatku. 
Akulah pembohongnya, menjadikan diriku sebagai pembuat cokelat panas terbaik untuknya. 
Tidak pernahkan tersebut olehnya jika aku yang terbaik?

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pause! A 2-year reconciliation with one’s self

Welcoming the Pre-Quarter Phase

An Extra