Cerita Rena

Panas terik matahari siang itu membuatku terpaksa memilih menaiki kendaraan umum ketimbang berjalan kaki beberapa meter menuju tempat tujuanku: Perpustakaan kota.
Jika saja panasnya lebih bersahabat mungkin saja payung hitam di dalam tasku yang akan menemani perjalanan siang itu, bukan dia yang berkemeja hitam yang kutemui di dalam bus penuh sesak manusia. Dia yang selalu ditemani rangkaian kata semasa sekolah, tidak bicara banyak, namun cukup banyak impresi ia tinggalkan kepadaku hanya dengan melihatnya beberapa menit di antara kerumunan orang banyak.

Bukan seorang pemain basket yang sering dielu-elukan perempuan remaja pada umumnya, bukan juga si juara kelas yang mengambil hati dengan betapa encer cairan otaknya, bukan juga si pelantun ayat-ayat kitab suci yang membuat hati tenang dengan setiap lantunannya. Dia hanya dia dengan kebiasaannya menunduk, melihat rangkaian huruf yang tersusun menjadi lukisan indah karya si penulis. Dia juga hanya dia yang tidak banyak bicara, namun bisa dengan lancarnya berpuisi di hadapan 40 atau lebih orang murid dan mendapat apresiasi berupa nilai apik dari guru bahasa. Dia yang sederhana, yang mau saja menempuh 10 kilometer lebih dengan sepeda hanya untuk duduk di bangku kayu sekolah tiap harinya. 

"Ren, kamu harus baca ini,"
Kalimat yang berulang-ulang kali ia ucapkan padaku, mungkin seminggu bisa lebih dari lima kali, sepanjang SMA. Tiga tahun sekelas dengannya, hampir tiga tahun penuh pula ia menyambutku tiap pagi dengan kalimat sederhana itu. Suara yang dia keluarkan tidak seperti suara laki-laki SMA kebanyakan, suaranya seperti tikus kejepit, cempreng, nyaring, tapi jika satu pagi saja tidak dengar suara itu, ada yang hilang rasanya hari itu. 

Setiap pagi juga, sebelum guru mata pelajaran pertama hadir memasuki kelas, aku duduk di belakangnya, membaca buku rekomendasinya sambil meminum teh hangat yang aku bawa dari rumah. Dia hanya memandangi ku membaca sambil mengenakan earphone di kedua telinganya. Besar sekali volume musik yang dia dengarkan, sehingga kalau kalian tanya apa lagu kesukaannya, genrenya apa, dan band apa, aku tahu. 

"I know nothing at all." Gumamku pelan saat samar-samar mendengar lagu yang sedang ia dengarkan dari ponselnya. 
"Lagu yang sama setiap pagi. Apa nggak bosan?"
Pada akhirnya memberanikan diriku menanyakan hal tersebut, setelah satu bulan penuh mendengar samar-samar dari earphonenya lagu tersebut setiap pagi. 
"Apa, ren?" tanyanya balik.
"Itu, lagu kamu. Kedengeran sampai sini," 
"Iya? Waduh. Kamu tahu dong aku dengar lagu diulang-ulang?"
"Ya... Makanya tadikan aku nanya,"
Lalu dia hanya tertawa malu karena terbaca sudah betapa melownya dia sebagai seorang pria.
Kalau ditanya kenapa dia lebih senang mendengarkan lagu-lagu melow, jawabannya haya satu, dan selalu konsisten: Tenang. Aku tidak tahu banyak mengenai kehidupan pribadinya, namun sesekali dia pernah bilang jika rumahnya sangat berisik, terlalu gaduh. Aku tidak berani bertanya lebih jauh, namun dengan sedikit cerita tentang itu aku merasa sudah cukup senang karena dia mau berbagi cerita.

Hampir selama tiga tahun kegiatan tersebut berulang, ditambah membaca buku rekomendasi darinya, mendengar teori konspirasi yang dia baca dari internet setiap istirahat atau saat guru tidak kunjung hadir ke kelas, atau sekadar menertawai buku lelucon yang ia sering temukan di lemari buku kakaknya yang katanya sudah reyot. Hingga suatu hari, lima bulan menjelang kehidupan anak kelas dua belas dihantui serangkaian ujian yang memabukkan, dia tidak pernah lagi menyapaku pada pagi hari. Tidak pernah lagi dia membawa buku novel atau apapun yang tebalnya minta ampun hingga mampu membuat ibu jari kaki sakit berhari-hari kalau tidak sengaja tertiban. Tidak pernah ada lagi buku lelucon yang sebenarnya tidak lucu ia bawa untuk kita tertawakan bersama. Tidak pernah kudengar lagi cerita-cerita tentang konspirasi dunia yang ia temukan di internet. 

Dunianya tiba-tiba berubah, seolah buku yang dia baca dulu sudah tidak ada guna. Lebih banyak dia habiskan waktu bersama sekelompok anak-anak biang berisik di kelas. Sesekali aku menghampiri mejanya saat istirahat makan siang, tetapi senyumpun tidak ku dapat. Berdiri kemudian keluar dari kelas selalu ia lakukan setiap aku melakukan itu. Dibuat bingung hingga sakit kepala aku selama berbulan-bulan. Bahkan hingga saat ini.

Teringat aku akan ucapannya dulu, seusai membaca buku tulis kuno berisikan sajak-sajak buatan ibunya kala ibunya remaja dulu. 
"Ren, ingatan kita itu terdiri atas berbagai jenis bingkai," katanya dulu, mengagetkanku yang sedang sibuk menghitung fungsi saat pelajaran matematika yang tiap harinya membuat kepalaku semakin pusing.
"Ada bingkai yang bersih bukan main, berkilauan, itu berisikan ingatan kita akan momen terakhir terbaik yang pernah kita miliki," lanjutnya, masih bersemangat, dan aku masih saja tidak peduli.
"Lalu ada bingkai yang bersih tapi tidak berkilau, itu berisikan ingatan kita akan momen indah, indah sekali hingga dirawat baik-baik, tak satu debupun menempel. Tapi dia sudah lama, makanya kilaunya hilang sedikit." dia menarik napas.
"Terus yang ketiga, Ren. Ini miris. Bingkai kusam. Berisikan momen yang tidak indah, tapi tidak mau dilupakan, makanya masih terbingkai. Kusam hadir bukan karena kamu biarkan debu-debu menempel, bukan karena kamu tidak merawat. Tetapi karena ada yang berharap untuk momen itu dilupakan." Kemudian dia selesai dengan perumpamaan puitisnya tentang bingkai dan ingatan manusia. Aku hanya mengangguk, mengiyakan, dan melanjutkan mengerjakan soal fungsi yang aku tidak kunjung paham.

Aku mengintip-intip mencari keberadaannya di antara kepala-kepala orang yang berdiri di dalam bus. Dia menatap ke luar jendela, tatapannya kosong dan kantung matanya menunjukkan betapa lelahnya dia saat-saat ini. Earphone hitam yang dia sudah sering kenakan selama SMA terlihat tersangkut pada salah satu telinganya dengan bagian lainnya menggantung begitu saja di pundaknya. Tangan kirinya memeluk sebuah buku tebal, kali ini lebih tebal daripada buku-buku yang biasa dia bawa saat SMA dulu. Sungguh aku merindukan semua cerita-cerita tentang buku favoritnya dalam berbagai genre yang ia bagikan semasa sekolah dulu.

"Pak, kiri pak!" Teriak seseorang dengan suara cempreng tikus kejepit ketika bus berhenti di depan sebuah halte yang cukup sepi siang itu. Dengan secepat mungkin ia mengeluarkan uang untuk dibayarkan ke kernet bus lalu turun dan menyebrangi jalan. 

Aku memandanginya hingga tubuhnya yang cukup tinggi itu hilang semakin menjauh dari tempat bus berhenti. 
Aku masih melihat dirinya sebagai penggila buku dan teori aneh dari internet hingga detik terakhir sebelum mataku sudah tak sanggup melihat dirinya yang semakin menjauh. Dia masih menjadi orang yang dulunya selalu membagiku beberapa isi dunianya melalui buku-buku yang tebalnya bukan main itu. 

Aku memasang earphone ke kedua telingaku. Menyalakan lagu terakhir yang kumainkan, membiarkan potongan-potongan cerita yang tidak akan pernah utuh itu tertempel dengan baik dalam bingkai kusam di dalam ingatanku. Hanya ingatanku.

Say something I'm giving up on you I'll be the one if you want me to Anywhere I would have followed you

Comments

  1. apakah orang yang dahulu berada dalam duniamu, termasuk juga dalam duniamu saat ini? apakah dunia berubah seiring waktu? atau seiring masa kini yang berubah jadi memori?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pause! A 2-year reconciliation with one’s self

Trust and Respect

Welcoming the Pre-Quarter Phase