Posts

Showing posts from 2018

1.1

Untuk ke sekian kalinya Teruntuk kamu yang sudah usang Bersama debu dan kusam Datang membawa terang Kemudian menghilang Terima kasih Sudah mau bertahan

1

/A Hadir seseorang malam itu, Tanpa izin ia duduk ditemani malam dan rindu Sendirian tak bicara, Hanya senyumnya seolah menyapa Matanya tak berarah, Kosong terlihat lelah Terlelap ia dipeluk bulan Bermimpi tentang bintang-bintang berkelip pelan Bercerita ia dalam mimpi Tentang dirinya yang sepi Tak mengerti maksud hati Membuat seseorang menanti /B Aku menatapnya dalam tidur lelap Bersinar ia di antara gelap Tidak sengaja tergantung harap Harap tak jelas tertutup asap Entah kapan asap akan menghilang Membawa kembali sejuta harap yang minta pulang Kuharap kali ini bukan hanya satu harap yang berlayar pulang

Bukan, bukan kamu

Lagi kamu lagi Datang lalu pergi Pergi lalu datang Kamu lagi-lagi Apakah memang kamu? Memang apakah kamu? Lalu, aku? Bukan aku, bukan? Bukan, bukan aku. Bukan kamu, bukan? Bukan, bukan kamu. Aku, hanya aku. Hanya aku, aku. Lagi-lagi aku Aku lagi-lagi

0

Kamu adalah nol Awal mula segalanya Alasan saya memulai Pun alasan saya kembali Di antara jutaan bilangan tak hingga Saya kembali pada nol Terima kasih telah menjadi bilangan nol Dikalikan dengan apapun kamu tetap kamu Tetap kosong dan menjadi nol Terima kasih atas ruang kosongnya Mengizinkan saya setidaknya singgah sesaat Terima kasih telah membuat nilai saya sempat bertambah nol koma satu Walau sebaliknya,  saya tidak berhasil mengajakmu menjadi satu  ataupun nol koma satu Dalam ruang kosongmu itu Kuharap suatu hari nanti  Akan ada angka yang mampu mengisinya walaupun hanya nol koma satu dan bukan saya

Cerita Rena

Panas terik matahari siang itu membuatku terpaksa memilih menaiki kendaraan umum ketimbang berjalan kaki beberapa meter menuju tempat tujuanku: Perpustakaan kota. Jika saja panasnya lebih bersahabat mungkin saja payung hitam di dalam tasku yang akan menemani perjalanan siang itu, bukan dia yang berkemeja hitam yang kutemui di dalam bus penuh sesak manusia. Dia yang selalu ditemani rangkaian kata semasa sekolah, tidak bicara banyak, namun cukup banyak impresi ia tinggalkan kepadaku hanya dengan melihatnya beberapa menit di antara kerumunan orang banyak. Bukan seorang pemain basket yang sering dielu-elukan perempuan remaja pada umumnya, bukan juga si juara kelas yang mengambil hati dengan betapa encer cairan otaknya, bukan juga si pelantun ayat-ayat kitab suci yang membuat hati tenang dengan setiap lantunannya. Dia hanya dia dengan kebiasaannya menunduk, melihat rangkaian huruf yang tersusun menjadi lukisan indah karya si penulis. Dia juga hanya dia yang tidak banyak bicara, namun

Crêpe

"Sudah jadi, ta?" "Tunggu saja dua bulan lagi, kamu pasti akan geleng-geleng kepala." 7 Februari 2009, Kali terakhir aku menghidangkannya cokelat panas dan croissant. Setelah itu? Kurasa kalian bisa tebak. Tidak saling sapa, baik langsung maupun tidak. Dianggapnya, mungkin, kita sudah selesai. Dari awal kita mulai bicara memang bukan karena ketertarikan, melainkan kewajiban. Salah memang kurasa jika aku memberi harapan pada diri sendiri jikalau ia akan terus menyapaku melalui pesan singkat tiap pagi. Sungguh aku terlalu senang menerbangkan diri sendiri. ---- 24 bulan berlalu setelah hidangan cokelat panas dan croissant terakhirku untuk Eza. Aku sudah lulus kuliah 12 bulan yang lalu, kurasa ia juga, jika tidak terlalu sering membawa dirinya tenggelam dalam suasana melankolis. Masih tetap sama, kami tidak saling kabar. Kata teman-teman saat magang dulu, pria yang seumuran denganku dan hanya beda 2 jam lahirnya, lima bulan atau lebih setelah kami menyelesaikan tugas s

Croissant

"Kenapa croissant? Kenapa tidak donat? Rasanya banyak yang lebih tertarik donat," Aku yang sudah tidak kuat dengan keheningan ini, pada akhirnya angkat bicara setelah ia memilih sebuah foto croissant yang tersebar di antara puluhan foto makanan lainnya. "Kenapa Eza? Kenapa tidak lengkap saja, Reza?" Sembari merapihkan foto-foto yang tersebar di atas meja kaca ia membalikkan pertanyaanku. Aku menatapnya, mengernyitkan dahi. Bukankah memanggil seseorang dengan nama yang tidak biasa digunakan oleh orang lain itu bebas? Tidak ada Undang-Undangnya kan? "Kamu juga ngga pernah panggil aku git, tapi ta."  Pria dengan kacamata yang saat ini tengah duduk dihadapanku hanya tertawa kecil dan memasukkan sebuah amplop cokelat, berisikan foto-foto makanan yang sedari tadi kita seleksi ke dalam tas pinggang hitamnya. Jendela besar yang tepat berada di sebelah kirinya mengizinkan cahaya matahari siang menyinari seluruh tubuhnya yang tidak begitu gemuk. Sebab cahaya matahar

Cokelat Panas

"Kamu baik, ta?" Masih dengan jaket cokelat yang sama seperti 4 tahun lalu, ia menghampiriku tepat di tempat itu. 4 tahun untukku layaknya malam kemarin, masih terlukis jelas dalam pikiranku pertemuan pertama kami. Walaupun untuknya mungkin sudah 4 abad lamanya, tidak ada goresan tentang pertemuan itu.  Tas ransel hitam menggantung di pundak kirinya, dengan segelas cokelat panas ia genggam dengan tangan sebelah kanannya. Apakah dia masih ingat semua cerita tentang cokelat panas? "Sangat baik, lebih baik dari yang kamu lihat," Aku mengembalikan senyumannya yang ia sudah berikan padaku sejak mata kami bertemu 5 menit yang lalu. Jika saja waktu dapat dipermainkan seperti musik, bolehkah Tuhan aku putar lagi 5 menit itu? Atau bolehkah aku putar hingga 4 tahun lalu? "Cokelat panasmu aromanya selalu enak, ingat saat aku selalu bertanya-tanya bagaimana cara membuatnya? Ah, hingga saat inipun aku belum sanggup ta menyaingimu,"  Ia menyicipi cokelat panas y

Jalan

Saya memindai jalan Memindai menurut pepatah-pepatah pendahulu Dengan pikulan berat di punggung Saya memindai jalan Jalan harapan para tetua Kata-katanya membawa mereka ke pulau emas Saya pindai jalan Pikul-pikul di punggung semakin berat dirasa Kaki rasa patah-patah Pepatah turut mematahkan Berakhir bertapa Bertanya apa Mengapa Siapa